Judul :Perampok Negara, Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi,
Penulis : Noreena Hertz
Judul Asli :The silent Take Over; Global Kapitalism and The Death of Democracy.
Penerbit : Alenia, Yogyakarta, November 2005
Tebal : xx + 262 hal
Perampokan Global Yang Terlembagakan
Tidak pernah sebelumnya di zaman modern ini celah antara yang berpunya dan yang tidak begitu lebar. Lihat saja tatkala orang-orang Amerika mengeluarkan delapan milyar dollar setahun hanya untuk belanja kosmetik, sementara sekadar untuk mengumpulkan sembilan milyar dollar dari semua negara kaya, sebagaimana perhitungan PBB, untuk memberikan akses air minum bersih dan sanitasi bagi mereka yang miskin begitu sulit. Di Indonesia, mereka yang memiliki akses kekuasaan semakin ‘gemuk’ sedangkan rakyat yang menjadi kuasa atas pemerintah malah semakin buncit perutnya. Bagi Hertz penyebab itu semua adalah Neoliberalisme yang menjadi panduan baru kebijakan semua negara.
Neoliberalisme merupakan sistem lanjutan dari kapitalisme dalam bentuk paling mutakhir. Kehadirannya disokong oleh Multi National Corporate, inilah ‘biang keladi’ ketimpangan yang menganga tersebut. Dari neoliberalisme ini muncul dua blok yang memiliki sikap berbeda. Di kalangan aktivis organisasi massa, kata itu dipenuhi penyakit. Sedang bagi pendukungnya, menjadi mantra penyembuh dari kemiskinan yang mendera. Bahkan kini neoliberalisme menjadi referen baru yang mampu membelah orang-orang menjadi kelompok-kelompok: pendukung, pengagum,penolak, bahkan orang yang tidak bersikap.
Sayangnya bagi pemerintah Indonesia Neoliberalisme telah menjadi ‘kawan setia.’ Privatisasi yang dilakukan terhadap institusi publik yang di obral murah kepada pemodal asing memberi bukti. Padahal dengan hilangnya institusi publik akan berimbas dengan semakin hilangnya sosial welfare dari negara, beralih kepada self care. Kondisi ini seakan hendak menegaskan, kalau anda mau hidup anda harus berusaha sendiri dan tidak bisa menggantungkan diri kepada institusi negara. Masalahnya, tatkala harus self care, negara sama sekali tidak membuka lapangan kerja bagi rakyatnya, inilah kontradiksi yang terjadi di negara ini.
Menurut penulis buku, ada beberapa faktor yang mendorong ‘hantu’ neoliberalisme. Pertama, munculnya perusahaan multi nasional sebagai kekuatan nyata dan bahkan memiliki aset kekayaan yang lebih besar daripada negara-negara kecil dunia. Neoliberalisme dibimbing oleh insting mengeruk laba di mana pun kesempatan itu ada di dunia tanpa perduli akan menghasilkan penderitaan. Bahkan pada saat krisis melanda, mereka mampu mengubah modal yang begitu besar menjadi bargaining power, sehingga memaksa negara bertekuk lutut.
Kedua, munculnya rezim internasional (WTO, Wolrd Bank, IMF) yang berfungsi sebagai surveillance system. Rezim ini memaksa negara-negara di seluruh dunia agar patuh menjalankan prinsip pasar bebas dan perdagangan bebas. Bagi yang tidak siap, seperti Indonesia, dipaksa untuk ikut bertarung. Dari tiga rezim tersebut, Wolrd Trade Organization (WTO) bertugas menjatuhi hukuman bagi negara yang tidak patuh pada perdagangan bebas. Dua yang lain, Wolrd Bank dan International Monetary Fund berkaitan dengan institusi keuangan. Dua lembaga inilah yang menjebak Indonesia dengan jeratan hutang dan sayangnya pemerintahan negara ini semakin keranjingan berhutang. Untuk mengontrol utang setiap negara, mereka membuat annual report dan evaluasi terhadap negara-negara seluruh dunia. Hasil laporan tersebut akan di acu oleh semua lembaga keuangan dan konsultasi. Ketiga, variabel independen yang mendukung neoliberalisme adalah revolusi bidang teknologi komunikasi dan transportasi yang teramat dahsyat dalam kurun waktu 20 tahun ini.
Paradigma neoliberalisme menegaskan bahwa cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan manusia antar manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum ,tata negara, maupun internasional. Intinya, sebagaimana dipaparkan Karl Polanyi, bagi neoliberal tindakan dan hubungan antara pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis kita hanya ungkapan dari kalkulasi untung rugi. Sehingga, dalam gagasan neoliberal, orang-orang yang diupah itu bukanlah buruh atau pegawai yang tergantung pada perusahaan (atau badan usaha), melainkan para wirausahawan bebas yang bertanggung jawab atas keputusan dan perkembanganya sendiri, dan yang (sama seperti kapitalis) berusaha juga menarik surplus bagi dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, apa yang berlaku dalam filsafat demokrasi, bahwa kebijakan yang ada merupakan kristalisasi aspirasi warga semakin tak menemukan bentuk. Bahkan, dalam sistem politik dengan penguatan demokrasi prosedural cum liberal, semisal pemilihan umum, cenderung di dukung oleh lembaga disokong perusahaan multi nasional. Sejatinya, apa yang mereka lakukan tidak untuk memastikan keterwakilan masyarakat dalam kelembagaan politik. Namun, lebih kepada menjaga agar tidak terjadi pelanggaran teknis yang dapat menciptakan krisis legitimasi formal dan berujung pada instabilitas sosial politik. Sesuatu yang sangat dihindari dunia bisnis, terutama kalangan multi nasional (hal xi).
Sekarang ini kita melihat dengan jelas bagamana tangan pemerintah terikat sedangkan keseharian kita semakin tergantung pada perusahaan. Situasi ini mengindikasikan bahwa bisnis berada dipusat kendali dan politik tersubordinasi. Perusahaan multi nasional mengendalikan dan menentukan aturan main, dan pemerintah dipaksa sekedar menjadi wasitnya dan melaksanakan aturan yang ditetapkan oleh orang lain terkhusus aturan yang tertera dalam structural adjusment programe. Inilah zaman di mana negara politik telah berubah menjadi negara perusahaan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Hertz dalam buku ini memberi beberapa petunjuk. Salah satunya protes publik konsumen kepada perusahaan menjadi cara yang bisa dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan dan mengontrol dampak-dampak dari aktivitas perusahaan yang merusak, dalam istilah Hertz Aktivisme supermarket (hal 143). Protes itu kemudian dilanjutkan dalam kampanye media untuk membuat sentimen publik agar perusahaan mau bertanggung jawab.
Ditengah realitas menyesakkan tersebut, menurut Hertz, hanya ada satu yang bisa dilakukan, merebut kembali negara dan mengarahkannya kepada track awal keberadaannya sebagai penjamin kesejahteraan warga negara. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan politik penolakan ketimbang politik penerimaan dari setiap kebijakan pemerintah. Herzt memberi penegasan. “Sebagai seorang warga kita harus menyadarkan pemerintah bahwa jika politik tidak difokuskan pada rakyat, jika perselingkuhan pemerintah dengan perusahaan besar tidak diakhiri, maka kita akan tetap tidak mempercayai demokrasi perwakilan dan lebih memilih melakukan aksi protes daripada menghadiri tempat pengambilan suara,” (hal 261). Hertz memang pantas untuk mengklaim bahwa buku ini adalah deklarasi pro rakyat, pro demokrasi, dan pro keadilan. Sebuah buku yang menyegarkan dan menyehatkan pikiran.
0 komentar:
Posting Komentar