Jika ada yang layak disebut sejarah, maka sejarah bangsa Indonesia tak lain adalah deretan cerita tentang penindasan, eksploitasi, dan penipuan. Oleh bangsa asing atau bangsa sendiri, oleh kapitalis asing atau kapitalis pribumi.
Oleh karenanya, segala gerak perlawanan harus didasari atas refleksi mendalam terhadap modus operansi penindasan, eksploitasi, dan penipuan itu sendiri. Segalamimpi perlawanan serta pemberontakan yang hanya dilatari oleh semangat akan heroismetak pelak hanya akan melahirkan sebentuk perjuangan buta yang akan dipastikan akan berakhir sia-sia. Karena kekuadaan itu begitu nyata adanya, yang untuk menghadanggnya dibutuhkan lebih dari semangat dan kata-kata.
eksploitasi negara atas rakyatnya, serta eksploitasi bangsa satu atas bangsa yang lainnya – harus disudahi, demi tegaknya dilai-dilai kemanusiaan dan keadilan yang selama ini teringkari.
Pembangunan dan Pembodohan
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ternyata tidak diikuti dengan kedaulatan bangsa ini untuk menentukan nasibnya sendiri, kita dapat melihat dengan jelas lewat mata kepala kita sendiri dimana prektek-prektek manipulasi politik terhadap rakyat Indonesia sendiri masih kerap terjadi. Tidak hanya itu, bahkan eksploitasi besar-besaran terhadap masyarakat masih sering terjadi. Dari Sabang sampai Merauke kita bisa menyaksikan orang-orang terusir dari tanah mereka, orang-orang yang diperas keringatnya, orang-orang dianiaya, pembungkaman terhadap hak setiap orang untuk bersuara, pembodohan terhadap masyarakat baik itu lewat sejarah yang diputar balikkan, penjara bagi orang-orang yang bersuara kritis melihat keadaan, orang yang diambil nyawanya dalam memperjuangkan haknya sebagai warga negara; orang-orang yang dirampas hak-hak dasarnya tanpa daya tuk melawan.
Cita-cita luhur pendiri bangsa hanya menjadi isapan jempol belaka. Masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUD `45 menjadi pengantar dongeng yang membuat kita tertidur pulas dalam ketidaksadaran kita masing-masing. Apa yang berlaku justru menunjukkan kemiskinan di mana-mana, pembodohan terus terjadi, suara lantang yang dibungkam serta sekian kasus penindasan yang karena begitu banyaknya membuat kita tak mampu untuk mengungkapkan itu satu per satu di carik kertas ini. Wajar jika kemudian eksistensi kita sebagai sebuah bangsa menjadi terancam karenanya yang kemudian mengakibatkan sekian ketidakpuasan menjelma menjadi sebuah pemberontakan Peristiwa Aceh dan Papua barangkali menjadi contoh akumulasi perasaan tidak puas tersebut.
Dengan posisi seperti ini tepat rasanya jika kita sedikit menoleh sebentar ke belakang pada saat pemuda-pemuda kita berkumpul di tahun 1908 dan 1928 guna menyatukan semangat perjuangan bersama melawan penindasan -- kala itu direpresentasikan oleh Kolonialisme Belanda – dalam perjuangan meraih mimpi-mimpi akan kebebasan berdaulat atas negeri ini. Lewat berbagai macam cara yang ditempuh, baik itu dengan cara-cara lunak maupu keras, lewat perundingan maupun perang gerilya, meeka menunjukkan contok bahu-membahu mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
Proklamator Soekarno pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Dengan mengingat sejarah kita bisa belajar bagaimana menjadi Indonesia, bagaimana menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat atas tanah, air, dan udara yang kita miliki bersama ini. Bagaimana kita bisa menghargai sekian unsur-unsur yang menyatu di bumi kita, suku yang berbeda-beda dengan keragaman etnik dan budaya yang kuar biasa. Dengan sejumlah kepercayaan serta pandangan hidup dan ideologi yang tidak sama.
Tak ada gading yang tak retak. Impian kita tidak selalu mulus akhirnya. Sejarah kita justru menunjukkan betapa bangsa Indonesia tidak mampu belajar dari kesalahannya yang terukir dari sejarah masa lalunya. Pelbagai praktek penindasan dari jaman ke jaman, dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain, tidak cukup untuk kita berkaca akan getirnya nasib bangsa ini. Kala kolonisasi, eksploitasi, dam penipuan terjadi di hampir setiap pelosok bumi Indonesia terjadi, kita nyaris tidak berbuat apa-apa bahkan untuk belajar dainya pun tidak.
Bangsa ini tidak bisa melepaskan dari dari itu semua, justru ketika bangsa ini dituntut untuk berdikari menyusun negara yang berdaulat. Pasca proklamasi kita hanya bisa melihat perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh para elit politik kita. Mimpi-mimpi akan Indonesia yang adil, makur, dan sejahtera tinggallah mimpi di kepala orang-orang yang sebebtulnya dipikih guna menegakkan cita-cita luhur tadi. Pergantian kekuasaan hanya menghasilkan elit-elit baru yang tidak merakyat dengan posisi berseberangan denga perjuangan awal bangsa ini.
Faktor mementingkan diri sendiri ketimbang membangun bangsa ini bersama-sama menjadi problem yang sampai saat ini kita sendiri masih sering ditipu okehnya. Sifat kekuasaan yang oligarkis tersebut justru membuat bangsa ini semakin terpuruk dalam lembah nestapa kemiskinan yang meraja lela sejauh mata memandang Republik ini. Kolflik kepentingan yang meraja lela menanamkan benih pertikaian di semua medan. Lewat Dekrit Presiden tahun 1959 diikuti pembubaran parlemen di tahun 1960, tentara lewat presiden Soekarno mulaim berhasil menekan setiap kekuatan-kekuatan politik negeri ini.
Perseteruan politik antara Partai Komunis Indonesia ( PKI ) dengan berbagai kekuatan politik lainnya semakin meruncing sepanjang tahun 1960-an membuat tentara semakin meneguhkan kepemimpinannya. Setelah kudeta yang bisa dikatakan gagal tahun 1966 – yang berimbas pada menghilangnya kurang lebih satu juta jiwa bangsa Indonesia, keadaan praktis dikendalikan tentara, yang semakin jumawa setelah supersemar yang kontroversial itu keluar.
Keberhasilan menyingkirkan PKI sungguh membuat tentara dalam posisi strategis dalam garda terdepan kancah perpolitikan Indonesia. Setelah melewati beberapa komsolidasi politik yang pamjang Golkar pun tampil sebagai pemenagn pemiku dan meneguhkan kepemimpinan Orde Baru ( Orba ) dibawah komando Jenderal besar – terakhir berbintang lima – Soeharto.
Rezim militer-birokratik pun terbentuk dan mulai menunjukkan taringnya sebagai penguasa yang otoriter dalam memimpin bangsa ini selama 32 tahun ke depan. Nernagai aturan mulai ditegakkan guna meng-cover rezim penindas sang Jenderal beserta antek-anteknya. Setiap opini yang dianggap membahayakan posisi kekuasaan pemerintah dibredel habis, suara-suara kritis dibungkam lewat UU sebversif versi penguasa Orba tersebut. Masyarakat dipaksa menutup mata dan telinga rapat-rapat dari ajaran-ajaran yang dianggap memiliki potensi untuk menjatuhkan kekuasaan. Segala potensi-potensi revolusioner dengan segera dihancurkan lewat pembodohan masyrakat melalui kurikulum pendidikan serta sejarah yang berulang kali diputar balikkan. Orba bagaikan mahluk raksasa yang teramat besar dan memiliki mulut untuk menelan siapa saja yang coba membangkang, memiliki racun yang sanggup menghancurka kekuatan-kekuatan baru yang coba menghadang agenda sesuai rencana.
Selama 32 tahun, situasi tersebut coba dipertahankan oleh kekuasaan Orba tanpa memberi sedikit pun kesenpatan untuk melawannya. Dalam kurun waktu tersebut pulalah eksploitasi dan penipuan terus digalakkan, pemiskinan dam pembodohan masyarakat, kekerasan hingga pembantaian yang secara intensif dilakukan. Jangankan melawan dan bersuara bahkan sampai berpikr saja harus terhambat di ubun-ubun kepala. Orde Baru benar-benar menjadi sebuah kekuatan yang jauh lebih menakutkan dari mahlukl halus yang paling menyeramkan sekalipun, ia mampu meruntuhkan nyali siapa saja yang berniat menghancurkannya – tak terkecuali pemuda dan kaum cendekiawan. Alhasil banyak cendekiawan yang justru melacurkan diri bersekutu dengan kekuasaan, tepetnya disebut sebagai kaum intelektual-teknokrat.
Kedigdayaan Orde Baru mulai goyah setelah badai krisis 1997 melanda Indonesia. Setelah bercokol delama 32 tahun akhirnya tak mampu mengelak dari situasi tersebut yang membuat raksasa besar tersebut menemui ketidak berdayaannya dalam menghadapi situasi yang ada. Keterpurukan perekonomian yang diikuti krisis multi dimensi memaksa rezim otriter ini bertekuk lutut mengakui kekalahannya. Terlebih lagi suara caci-maki yang selama ini mengendap 32 tahun lamanya atas penindasan dan ketidak becusan Orde Baru dalam mengelola negara kian keas memengallan telinga. Akhirnya setelah melewati sejumlah proses tekanan yang kuar biasa dahsyat – terutama oleh pers dan mahasiswa, kekuasaan itu pun berhasil diruntuhkan. 21 Mei 1998 menjadi saksi atas runtuhnya rezim totaliter terbesar yang pernah ada.
Penjajahan atau kolonialisme tidak dapat ipungkiri membuat kekayaan lokal hancur lebur, dari masyarakat serta wilayah nusantara. Kolonialisme membawa kemiskinan yang akut bagi bangsa ini, baik materiil maupun spirituil yang mengakibatkan kemiskinan, kebodohan, dan ketidak-berdayaan. Maka perlawanan lewat proses revolusi menjadi jawaban tepat atas situasi yang berkembang atas saat itu. Meski tak semuanya mulus karena lelalui sekian hambatan seperti dipenjarakannya sejumlah tokoh pergerakan serta dibubarkannya organisasi pergerakan massa rakyat pada masa pra-kemerdekaan olek pemerintah kolonial, maupun rintangan yang dihadapi, revolusi pada akhirnya menemui kemenangannya juga.
Jika saja anda berpikir kita telah melewati fase penindasan ketika proklamasi dikumandangkan, maka anda salah besar menilai hal tersebut. Pasca revolusi kemerdekaan, kolonialisme tidak begitu saja sirna dari hadapan mata kita bahkan sampai saat ini. Kolonialisme masih bertengger dan masih bercokol mencengkeram tubuh bangsa Indonesia yang memang sangat menggiurkan untuk dikuasai dumber daya alamnya. Seperti yang kita ketahui bersama, hingga tahun 1950-an, kekuatan-kekuatan modal Belanda masih tinggal tentram dan kuat mengendalikan perekonomian Indonesia. Hal tersebut termaktub dalam persetujuan Imdonesia-Belanda yang diperoleh lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) khususnya poin Persetujuan Finansial Ekonomi atau Financieel Economische Overenkomst (Finec) yang mengatur tentang dijaminnya kepentingan bisnis Belanda dalam Indonesia merdeka. KMB juga mewajibkan Indonesia untuk membayar hutang internal Pemerintah Hindia-Belanda sebesar US $1,13 milyar serta hutang eksternal sebesar kurang lebih 70 juta dollar AS. Kolonialisme tersebut juga nyata belum berhenti sampai hari ini, walau kemerdekaan Indonesia sudah berumur 59 tahun lebih. Kolonialisme dan Imperialisme yang oleh Vladimir Ilych Lenin sebagai tahap selamjutnya dari Kapitalisme, malahan semakin kuat mencengkeram. Kasus seperti ini bukan hanya dialami oleh Indonesia, negara-negara dunia ketiga lainnya pun mengalami hal tak jauh berbeda.
Layaknya fashion yang setiap tahun/musim berganti model sesuai kedaan, kolonialisme kini juga telah berganti modelnya dari kolonialisme era abad 19-20. Ia tak lagi menggunakan angkatan besnjata atau militer untuk melamcarkan misinya, kali ini ia datang dengan segala kecangguhan yang membuat setuap umat takjub dibuatnya. Zaman ini ia melakukan operasinya dengan modus operandi pemberian “bantuan” dan perdagangan bahkan lewat media guna mempengaruhi budaya lokal setempat. Seakan-akan ia datang bak malaikat yang baik hati ingin menolong dengan janji-janji kebebasan, kebahagiaan, kemakmuran, serta masa depan yang lebih cerah.
Melalui lembaga-lembaga keuangan semacam International Monetary Fund (IMF) serta World Bank/International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang didirikan oleh negara-negara kaya hasil kesepakatan Bretton Wood 1944, mesin kolnialisme gaya baru (new colonialism) tersebut mendatangi negara-negara dunia ketiga termaduk Indonesia dengan menawarkan bentuk pinjaman dan invedtasi yang disambut dengan gembira. Namun apa yang dijanjikan oleh mesin-mesin kolonialisme-imperiakisme tersebut tak kunjung menuai hasil yang menguntungkan negara-negara dunia ketiga. Dengan sekian iming-iming yang dijanjikan, IMF dan World Bank justru manjadikan negara-negara dunia ketiga tersebut semakin terpuruk akan kemiskinan dan pembodohan.
Propaganda yang dilancarkan tersebut terbukti hanya buaian belaka yang tidak lain hanya dipakai untuk mengeksploitasi hasil bumi dan tenaga kerja negara-negara dunia ketiga. Alhasil, jurang kemiskinan semakin terbuka lebar. Kita dapat melihat dengan jelas perbedaan mencolok antara negara-negara dunia ketiga seperti negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Sistem perekonomian kiberal-kapitalis yang dibawa justru membuat manusia menindas manusia lainnya, bangsa satu menjajah perekonomian bangsa lainnya. Penindasan seakan menjadi pemandangan biasa di bumi ini.
Arus modal dan investasi negara kapitalis internasional selama ini jelas menimbulkan penderitaan rakyat semakin akut. Alur tersebut tidak lebih dari suatu pembodohan yang harus ditentang oleh setiap orang yang merasa terpanggil dan harus bergerak melawannya. Modus perekonomian yang tak lain dan tak bukan dilakukan untuk menumpuk kekayaan pribadi maupun golongan lewat penimbunan modal. Segala alasan yang dipakai untuk mananamkan modal dan investasi di negara dunie ketiga tak lebih hanya untuk menjaga pengaruh Amerika Serikat beserta sekutunya yang sejak berakhirnya Perang Dunia II memiliki kepentinga besar menghambat pengaruh Komunisme Internasional Rusia.
Maka wajar bila terjadi kemiskinan akibat diperasnya tenaga rakyat dan dikeruknya sumber kekayaan negara dunia ketiga. Setiap hari eksploitasi tenaga kerja selalu terjadi, dan ini semua tidak lepas dari masih bercokolnya sistem tersebut, sehingga mengakibatkan bangsa ini takkan bisa lepas dari kemiskinan selama bangsa ini belum mampu melepaskan diri dari cengkeraman sistem yang berjalan tersebut. Selama kekuatan kolonialisme-imperialisme masih berada dalam pusaran pertiwi maka selama itu pula kita akan selalu berhadapan dengan pembodohan dan pemiskinan terus menerus. Sebuah cerita yang ternyata tidak berbeda jauh dengan apa yang kita alami pada jaman penjajahan secara fisik dulu, hanya saja kali ini penindasan yang berlangsung bukan lagi secara fisik.
Lagi-lagi ini merupakan suatu bukti nyata di mana bangsa ini begitu mudah melupakan sejarahnya. Penguasa dan sebagian masyarakat justru menerima begitu saja proses penghisapan ini. Setelah berdirinya pemerintahan Orde Baru, saat itu pulalah Indonesia membuka pintu lebar-lebar bagi modal dan investasi asing untuk masuk. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan tersebut memberikan peluamg besar bagi masuknya modal asing di Indonesia.
Arus pinjaman dan investasi modal asing tersebut pada akhirnya mengakibatkan struktur ketergantungan yang luar biasa akut terhasap kekuatan-kekuatan kolonialisne-imperialis internasional. Sektor-sektor strategis pun dikuasai oleh perusahaan-perusahaan trans-national atau multi national coorporation (MNC & TNC). Hal ini semakin menegaskan cengkeraman kekuatan luar terhadap Indonesia.
Sejak itu pulalah era kolonialisme baru di Indonesia dimulai, dengan tiga pilar kekuatan : kapitalis internasional, negara, dan kapitalis pribumi/lokal. Ketiganya saling erat terkait dan saling mendukung satu sama lain, meski tak jarang pula amtara mereka sendiri sering bersiregang dalam perebutan lahan dalam rangka eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam Indonesia. Salah satu contoh hasil persekutuan negara dengan kekuatan kolonialis-imperialis internasional adalah dengan diterapkannya model developmentalism (pembangunanisme) dibawah komando Soeharto selaku pimpinan tertinggi Orba. Ciri dari model ini ialah liberalisasi ekonomi – yang dipenuhi oleh praktek korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) dengan berorientasi pada pada pertumbuhan (growth oriented). Slogan politik sebagai panglima yang dipakai pemerintahan Orde Lama, digantikan dengan slogan ekonomi sebagai panglima pada pemerintahan Orde Baru.
Bukannya kesejahteraan dan kemakmuran yang dicapai, tetapi kemelaratan dan pembodohanlah yang didapat oleh bangsa ini. Sember pertanian tidak lagi sepadan dengan laju pertumbuhan harga-harga menyebabkan banyak penduduk Indonesia terjebak dalam kemiskinan. Hal ini tentu berbeda dengan janji yang diberikan penguasa orde baru. Masyarakat desa berdutum-duyun datang ke kota dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya. Namun yang didapati tak lain hanya menjadi buruh rendahan yang setiap hari diperas keringatnya dengan imbalan yang tak sebanding dan tak mampu memenuhi tuntutan hidup keseharian.
Derasnya arus urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) tanpa adanya penanganan yang serius oleh pemerintahnya justru hanya membuat masyarakat tersebut menjadi kuli di kota tujuannya tersebut. Sampai saat ini nasib pun belum berubah, sehingga timbul sebutan menjadi “kuli di negeri sendiri.”
Nampaknya penguasa tidak terlalu peduki dengan realitas semacam itu, mereka lebih senagn asik dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat yang dianggap sebagai sebuah kemajuan yang amat berarti. Padahal pembangunan yang dilakukan oleh rezim ini tidak lebih dari monopoli kekuasaan oleh elit-elit politik di belakang nama besar Jenderal Besar Soeharto. Pembangunan itu bahkan jelas menimbulkan kesenjangan di mana-mana. Soeharto beserta kroni-kroninya adalah pihak yang menuai panen atas keuntungan yang diperoleh dari situasi ini dan masyarakat kebanyakanlah yang menjadi korban kegilaaan sekian pejabat-pejabat korup yang menguasai hampir setiap aspek di negeri ini. Slogan “ekonomi sebagai panglima” tak lebih hanyalah “ekonomi bagi panglima” rezim penguasa. Para panglima itulah yang menikmati hasiknya dan rakyat lah yang memakan ampas dan menghisap getahnya.
Dengan situasi yang menguntungkan pejabat-pejabat negara di bawah selangkangan Soeharto, maka mereka pun melakukan segala daya upaya untuk mempertahankan keadaan. Segala hal yang dianggap menggangu jalannya pembangunan akan disingkirkan, bila perlu dimusnahkan sampai tak berjejak. Kebebasan berpendapat dibatasi, seringkali hal tersebut dibarengi dengan kekerasan dan intimidasi. Sejumlah kasus penculikan dan pembunuhan pun terjadi tanpa pernah ada pengadilan untuk mengusutnya. Orde Baru yang dibangun lewat kudeta berdarah yang mengakibatkan 1 juta nyawa tak berdosa melayang dengan cepat mengkonsolidasikan diri dalam negara beurocratic authorotarian yang tak ada tandingnya.
Sampai pasca jatuhnya kekuasaan Orba pada tahun 1998, negara masih tetap bahkan makin kuat mewakili kepentingan elit-elit yang berkuasa. Didukung oleh intelektual pragmatis-oportunis serta parlemen pasca pemilu 1999, negara justru semakin kuat merepresentasikan kepentingan kaum berkuasa. Berbagai kebijakan yang anti-rakyat dan pro terhadap modal serta kebijakan pertanian dan pertanahan yang juga anti-rakyat menunjukkan hal tersebut.
Pelbagai program liberalisasi yang didorong oleh International Monetary Fund, World Bank maupun Asian Development Bank serta lembaga-lembaga donor berbasis kapitalis-imperialis, begitu saja disepakati dan segera menandatangani sekian perjanjian yang telah dibuat tanpa berpikir panjang akan segudang efek buruk yang akan dijalani ke depan. Tak terpikirkan lagi kepentingan sebagian masyarakat Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan dan kelaparan, tak terbesit pandangan akan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera ataupun gelandangan yang bergelimpangan di sudut-sudut kota yang mengemis akibat kelparan yang diidap. Agenda globalisasi disetujui dengan dalh akan membawa kemajuan, sudah menjadi kesepakatan ataupun sesuatu yang tak terelakkan.
Bila saja situasi seperti ini masih terus berlanjut kita bukan hanya bisa membayangkan apa yang akan kita alami ke sepan nanti, kita juga akan dengan mudah mampu menjawab bagaimana masa depan amak cucu kita ke depan nanti bila saja situasi seperti ini tak kunjung berubah. Rakyat yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan akan semakin miskin akibat sistem yang berjalan belum kita putar bersama-sama, karena dengan bersama-sama dan kesadaran yang samalah kita mampu mengepalkan tinju tuk menghantam musuh besar yang telah kita ketahui bersama-sama.
“Mimpi tentang Indonesia yang adil, makmur, dan beradab tidak akan pernah menjadi kenyataan jika kita tidak bangun dan mengerjakannya.”
0 komentar:
Posting Komentar