Judul : Kemiskinan Global; Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme
Penulis : Jeremy Seabrook
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2006
Tebal : viii + 266 hal
‘Pemiskinan’ Global dan Gagalnya Kebijakan Neoliberal
Apakah ekonomi melayani umat manusia, atau kemanusiaan telah ditindas untuk melayani ekonomi? Jeremy Seabrook.
Di Indonesia, pandangan mengenai kemiskinan masih bertahan pada anggapan bahwa seseorang atau sekelompok orang yang miskin semata-mata dikarenakan faktor psikoligis semata. Misal minimnya motivasi ekonomi dan kemalasan. Kemiskinan juga sering dianggap sebagai cobaan dari Tuhan. Bahkan, lebih parah masih ada anggapan kemiskinan yang terjadi pada seseorang atau sekelompok orang diandaikan mereka sedang menerima pembalasan dari dosa-dosa yang telah diperbuat atau kecerobohan yang pernah dia/mereka lakukan. Tetapi hadirnya krisis ekonomi yang melanda banyak negara, termasuk Indonesia, yang mengakibatkan jutaan orang menganggur, sumber-sumber pendapatan hilang, dan puluhan juta orang pula tidak mampu memenuhi kebutuhannya, pikiran-pikiran doktriner itu akhinya mulai terkikis.
Menurut Jeremy, persoalan kemiskinan, yang terjadi akibat dari ketimpangan akses terhadap sumber daya ekonomi, merupakan implikasi dari digunakannya prinsip ekonomi neoliberalisme yang mendasarkan diri semata-mata pada pertumbuhan ekonomi Paradigma neoliberalisme, menurut penulis, menegaskan bahwa cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan manusia antar manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum, tata negara, maupun internasional. Intinya, sebagaimana dipaparkan Karl Polanyi, dalam paham ekonomi neoliberal, tindakan dan hubungan antara pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis hanya ungkapan dari kalkulasi untung rugi. Maka sangat tepat ketika penulis mengajukan pertanyaan bertanyaan bernada renungan yaitu; apakah ekonomi melayani umat manusia, atau kemanusiaan telah ditindas untuk melayani ekonomi? Jika melihat terus menguatnya kesenjangan ekonomi antar berbagai kelompok hingga antar negara, maka kemanusiaan memang terdegradasi hanya sekadar melayani ekonomi semata.
Model ekenomi neoliberal di bimbing oleh insting mengeruk laba di mana pun kesempatan itu ada di dunia tanpa perduli akan menghasilkan penderitaan. Bahkan pada saat krisis, mereka mampu mengubah modal yang begitu besar menjadi bargaining power, sehingga memaksa negara/pemerintah bertekuk lutut. Dari penelitian yang dilakukan penulis, seseorang atau kelompok menjadi miskin karena mereka terkunci akan akses-akses yang menjadi hak mereka (lack of economic resources). Kelompok-kelompok ini mengalami kelangkaan aksesibilitas kepada sarana, prasarana dan pelayanan publik. Kemiskinan global, menurut penulis, bisa ditelisik dengan menelaah pertumbuhan pada masalah ketimpangan, keduanya berlangsung di antara dan di dalam negara. Kemiskinan adalah suatu kekurangan yang absolut (tiadanya kebutuhan pokok untuk bertahan hidup). Sedangkan ketimpangan adalah petunjuk ketidakdadilan sosial. Dengan cara apa pun, kemiskinan ekstrim ada sementara ketidakadilan meningkat sepanjang waktu.
Menurut penulis, kemiskinan global bukanlah soal kekurangan sumber daya, melainkan suatu akibat digeggamnya kendali ekonomi oleh negara-negara kaya. Kendali ekonomi itu dimulai pada 1980 ketika hadir ‘Washington Consensus’ yang dipelopori IMF. Kebijakan ini menjadi penekan pengintegrasian semua negara ke dalam perekonomian neoliberal. Artinya, pembangunan yang tidak adil memang telah dilembagakan. Ia terletak pada lembaga yang ‘mengelola’ globalisasi, antara lain; International Monetary Fund, Bank Dunia, Wolrd Trade Organization, perusahaan transnasional dan pemerintah negara-negara kaya. Mereka terus-menerus mengkhotbahkan doktrin fiktif tentang pasar bebas.
Padahal kebebasan, dalam lingkungan ekonomi, merupakan kode untuk apa pun yang menguntungkan orang-orang kaya. Petani miskin di Selatan tetap tidak dapat bersaing dengan Uni Eropa dan Amerika yang pemerintahnya memberi subsidi untuk pengahasil makanan mereka sendidi. Ironinya, negara-negara miskin harus membuka diri terhadap negara-negara kaya untuk impor pertanian dan manufaktur industri, di samping sektor jasa, tidak hanya dalam keuangan dan perbankan, melainkan juga listrk, air dan daya, telekomunikasi.
IMF memberlakukan ‘politik penampilan’. Lembaga itu memperbaharui Structural Adjusment Program (Program penyesuain Struktural), kebijakan ekonomi politik IMF dalam membantu setiap negara yang terkena krisis, seperti Indonesia, menjadi Poverty Reduction Growth Facility, dan Dokumen Kerangka Kerja Kebijakannya menjadi Poverty Reduction Strategy Papers. Pemerintah-pemerintah meneken kebijakan yang sama dan dengan demikian mengalihkan pengawasannya pada mereka yang berhubungan degan orang-orang miskin di bawah.
Satu hal yang sering ditawarkan untuk menghilangkan kemiskinan, seperti yang juga sering diyakini para pejabat negara ini, adalah investasi langsung dari luar, terkhusus perusahaan transnasional, ke negeri mereka. Sehingga negara-negara yang mampu menarik sejumlah besar modal asing ke tanah mereka yang tandus dianggap sebagai keberhasilan ekonomi. Padahal selalu ada permasalahan dalam investasi skala besar. Menurut penulis, perusahaan-perusahaan AS terus-menerus menghindari publisitas menyangkut pelanggaran-pelanggaran atas buruh di Amerika Tengah, Meksiko dan Asia Selatan dengan memindahkan investasi mereka ke area-area yang memungkinkan untuk meloloskan diri dari penyelidikan. Dengan menggunakan buruh asing di tempat temapt terpencil, eksploitasi memungkinkan untuk tidak terdeteksi (hal 140).
Sekarang ini, dengan digunakannya kekuatan-kekuatan ekonomi pasar bebas yang impersonal, perang atas kemiskinan berubah menjadi perang atas orang miskin. Orang miskin harus dibikin menghilang. Cara paling gampang dengan melakukan pengusiran-dari tanah yang mereka diami dan dari mata pencaharian mereka. Perang itu diselubungi dalam bahasa ‘kemajuan’: modernisasi, ‘mempercantik’ kota, perbaikan lanskap, metode pertanian yang lebih efisien, peningkatan produktifitas-yang terutama, ‘pembangunan’. Kadangkala pengusiran dilakukan demi kepentingan untuk melenyapkan ‘perusak pemandangan’, khususnya ketika ada pertemuan internasional-pertemuan puncak lembaga-lembaga donor hingga lomba olah raga Piala Dunia. Jika terlihat maka orang miskin dikatakan ‘mencemari citra’ negara. Ini harus dihindari, tak perlu betapa cemar, aib, atau korupnya realitas.
Ditengah kemiskinan global akibat kebijakan neoliberal, apa yang dapat kita lakukan agar implikasi globalisasi dapat di minimalkan atau tidak sampai kemiskinan menjadi bertambah. Menurut penulis, hanya gerakan rakyat yang dapat menghadang laju kebijakan neoliberal. Artinya, globalisasi yang dicirikan dengan ekspansi pasar harus diimbangi dengani liberalisasi politik. Harapannya masyarakat mampu memperjuangkan hak-hak dan menolak segala sesuatu yang akan memiskinkan hidup mereka. Akhirnya, masyarakat perlu secara sadar dan jujur untuk melakukan penilaian tentang manfaat liberalisasai pasar. Penulis dengan gamblang menyingkap bagaimana bangunan kapitalisme hanya mungkin berdiri di atas kesengsaraan orang miskin. Karena itu, program apapun, seperti MDGs (Milenium Development Goals), mustahil bisa mengentaskan orang miskin, selama masih bertumpu pada sistem neoliberalisme, yang menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai mantranya. Buku ini menyerukan suatu pemikiran yang radikal, bukan hanya mengenai kemiskinan, melainkan cara kita hidup dalam dunia yang begitu timpang.
0 komentar:
Posting Komentar