Negara memiliki peran serius dalam menentukan nasib pendidikan Indonesia yang hingga saat ini bisa dibilang jauh tertinggal dari negara-negara lain --termasuk kebanyakan negara Asia Tenggara yang dulunya banyak belajar dari negara kita. Minimnya perhatian negara pada bidang ini merupakan penyebab utama terpuruknya pendidikan di Indonesia. betapa tidak, bukannya memikirkan bagaimana memajukan pendidikan, negara malah sibuk memikirkan hutang untuk membiayai pendidikan di Indonesia. Faktor-faktor yang memperngaruhinya adalah terpusatnya lembaga pendidikan di kota-kota besar dan belum adanya program terpadu untuk menunjang kegiatan belajar mengajar serta kurangnya tenaga pendidik yang kompeten untuk menangani hal ini.
Untuk menyediakan pendidikan gratis dan untuk memberikan subsidi pada para orangtua dari keluarga tidak mampu sehingga anak mereka bisa bersekolah, pemerintah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pendidikan itu, pemerintah “terpaksa” harus meminjam dana dari luar negeri, hal ini dikatakan sendiri oleh beberapa sumber di Diknas. Patut dipertanyakan, apakah dana pendidikan memang betul-betul kurang? Jika memang kurang, apakah praktek-praktek korupsi di tubuh negara, khususnya Diknas dan Departemen-Departemen yang terkait dengan masalah-masalah di atas sudah diberantas habis? Diperlukan suatu usaha terpadu untuk menghitung berapa idealnya dana pendidikan yang betul-betul dibutuhkan oleh negara dan usaha untuk memberantas habis korupsi supaya dana-dana yang sudah diupayakan terebut tidak bocor di tengah jalan.
Walau pemerintah secara nasional telah membentuk Forum Koordinasi Nasional untuk melaksanakan program pendidikan, namun Forum yang terbentuk ini juga belum mampu berbuat banyak karena masih bersifat kelompok kerja semata, sehingga tidak mampu melakukan koordinasi dengan Departemen-Departemen yang terkait dengan masalah pendidikan. Setiap Departemen akan mengalami hambatannya masing-masing dan sebuah kelompok kerja tidak akan cukup mampu mengatasi hal tersebut.
Komersialisasi yang banyak ditemui pada institusi pendidikan merupakan imbas dari globalisasi dan tidak ada kontrol atas itu. Apa yang dilakukan IMF-WB malah mendorong komersialisasi pendidikan berjalan dengan orientasi ekonomi yang dilemparkan kepada pemerintah. Sampai kapanpun pendidikan di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan signifikan jika IMF-WB tidak merubah proyeksi ekonomi mereka terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Adalah keniscayaan tingkat melek huruf di Indonesia semakin menurun jika masyarakatnya masih dibelit problem kemiskinan yang seperti telah dijelaskan di atas, memaksa orang tua tidak mampu mengirim anaknya ke sekolah akibat biaya pendidikan tak terjangkau. Inilah yang kemudian dinamakan Neo Kolonialisme-Imperialisme / penjajahan gaya baru yang diakibatkan jerat hutang yang membelenggu kemampuan masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik. Artinya masyarakat tidak akan meningkat kehidupannya jika saja negara masih membiarkan diri terbelit hutang dai lembaga-lembaga donor tersebut. Jika IMF-WB mampu menentukan setiap kebijakan negara maka, kebijakan bidang pendidikan tentunya tidak lepas dari campur tangan IMF-WB yang tentunya menginginkan bangsa ini hidup dengan kualitas pendidikan rendah agar lebih mudah dikontrol.
Kehadiran lembaga semacam ini jelas tidak memberikan hasil positif bagi negeri ini secara general, oleh karena itu perlu ketegasan negara untuk memutuskan segala bentuk hubungan dengan IMF-WB serta lembaga donor internasinal lainnya yang hingga hari ini memberikan hasil negatif bagi negara ini. Negara tidak lagi perlu memfasilitasi lembaga-lembaga tersebut untuk melangsungkan pemiskinan-pembodohan kepada masyarakat seperti yang terjadi selama ini. IMF-WB tidak akan merajalela di negeri ini jika saja pemerintah memberikan ketegasan sikapnya untuk berpihak pada masyarakat bukannya menjadi komperador lembaga donor internasional itu. Negara disibukkan untuk membayar hutang ketimbang mengurusi pembangunan (pendidikan termasuk di dalamnya) sehingga pembangunan nasional akan mengalami kemandekan hanya dikarenakan pemerintah lebih fokus membayar hutang.
Untuk menyediakan pendidikan gratis dan untuk memberikan subsidi pada para orangtua dari keluarga tidak mampu sehingga anak mereka bisa bersekolah, pemerintah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pendidikan itu, pemerintah “terpaksa” harus meminjam dana dari luar negeri, hal ini dikatakan sendiri oleh beberapa sumber di Diknas. Patut dipertanyakan, apakah dana pendidikan memang betul-betul kurang? Jika memang kurang, apakah praktek-praktek korupsi di tubuh negara, khususnya Diknas dan Departemen-Departemen yang terkait dengan masalah-masalah di atas sudah diberantas habis? Diperlukan suatu usaha terpadu untuk menghitung berapa idealnya dana pendidikan yang betul-betul dibutuhkan oleh negara dan usaha untuk memberantas habis korupsi supaya dana-dana yang sudah diupayakan terebut tidak bocor di tengah jalan.
Walau pemerintah secara nasional telah membentuk Forum Koordinasi Nasional untuk melaksanakan program pendidikan, namun Forum yang terbentuk ini juga belum mampu berbuat banyak karena masih bersifat kelompok kerja semata, sehingga tidak mampu melakukan koordinasi dengan Departemen-Departemen yang terkait dengan masalah pendidikan. Setiap Departemen akan mengalami hambatannya masing-masing dan sebuah kelompok kerja tidak akan cukup mampu mengatasi hal tersebut.
Komersialisasi yang banyak ditemui pada institusi pendidikan merupakan imbas dari globalisasi dan tidak ada kontrol atas itu. Apa yang dilakukan IMF-WB malah mendorong komersialisasi pendidikan berjalan dengan orientasi ekonomi yang dilemparkan kepada pemerintah. Sampai kapanpun pendidikan di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan signifikan jika IMF-WB tidak merubah proyeksi ekonomi mereka terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Adalah keniscayaan tingkat melek huruf di Indonesia semakin menurun jika masyarakatnya masih dibelit problem kemiskinan yang seperti telah dijelaskan di atas, memaksa orang tua tidak mampu mengirim anaknya ke sekolah akibat biaya pendidikan tak terjangkau. Inilah yang kemudian dinamakan Neo Kolonialisme-Imperialisme / penjajahan gaya baru yang diakibatkan jerat hutang yang membelenggu kemampuan masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik. Artinya masyarakat tidak akan meningkat kehidupannya jika saja negara masih membiarkan diri terbelit hutang dai lembaga-lembaga donor tersebut. Jika IMF-WB mampu menentukan setiap kebijakan negara maka, kebijakan bidang pendidikan tentunya tidak lepas dari campur tangan IMF-WB yang tentunya menginginkan bangsa ini hidup dengan kualitas pendidikan rendah agar lebih mudah dikontrol.
Kehadiran lembaga semacam ini jelas tidak memberikan hasil positif bagi negeri ini secara general, oleh karena itu perlu ketegasan negara untuk memutuskan segala bentuk hubungan dengan IMF-WB serta lembaga donor internasinal lainnya yang hingga hari ini memberikan hasil negatif bagi negara ini. Negara tidak lagi perlu memfasilitasi lembaga-lembaga tersebut untuk melangsungkan pemiskinan-pembodohan kepada masyarakat seperti yang terjadi selama ini. IMF-WB tidak akan merajalela di negeri ini jika saja pemerintah memberikan ketegasan sikapnya untuk berpihak pada masyarakat bukannya menjadi komperador lembaga donor internasional itu. Negara disibukkan untuk membayar hutang ketimbang mengurusi pembangunan (pendidikan termasuk di dalamnya) sehingga pembangunan nasional akan mengalami kemandekan hanya dikarenakan pemerintah lebih fokus membayar hutang.
0 komentar:
Posting Komentar