Kamis, 12 Juni 2008

Seputar Kenaikan BBM

Momentum Kebangkitan Nasional hari ini, banyak krisis yang telah menerpa di negri ini. Untuk itu, dalam membaca dampak atas kenaikan BBM kali ini, sebagai kaum pergerakan, kita tidak perlu dipusingkan terhadap analisis angka-angka naik turunnya harga minyak dunia. Sebab, tidak menentunya harga riil produksi minyak dunia saat ini juga disebabkan adanya spekulasi-spekulasi ekonom untuk memainkan harga pasaran internasional. Akibatnya bisa terlihat dari ketegangan sosial dalam masyarakat kita pada hari ini. Harga-harga semakin melambung paska ketidakjelasan pemerintah untuk memastikan rencana kenaikan harga BBM di dalam negri. Namun, membaca banyak laporan mengenai fluktuasi minyak dalam negri, terlihat bahwa dalam lima tahun terakhir produksi minyak Indonesia mengalamipenurunan. Dan dalam penurunan tersebut telah mengharuskan Indonesia mengimpor defisit kebutuhannya, yang setiap tahun mencapai 503 ribu barel per hari, sementara ekspornya hanya 413 ribu barel per hari. Artinya, defisit kebutuhannya adalah 90 ribu barel yang harus dibeli dengan mata uang dolar di tengah situasi naiknya harga minyak dunia.

Walaupun belum teruji kebenarannya, impor minyak mentah 500 ribu barel per hari (bph) dan BBM 500 ribu bph harus dilakukan karena kemampuan maksimal produksi minyak dan kemampuan kapasitas refinery nasional sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Namun, anehnya menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu: "...kenaikan harga minyak dunia hingga 81 dolar AS per barel tersebut sebetulnya berdampak positif bagi Indonesia. Sebab nilai minyak yang diekspor masih lebih besar dibandingkan yang diimpor. Sehingga dampaknya ke anggaran pemerintah menjadi netral karena kelebihan penerimaan dari hasil ekspor itu dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan subsidi BBM". (Kompas, 19/9/07). Maka, berdasarkan pernyataan itu, kenaikan minyak dunia hingga mencapai 100 dolar sekalipun seharusnya tidak akan membuat anggaran jebol.

Tapi, dari sini yang harus digarisbawahi bahwa besarnya pendapatan pemerintah dari sektor Migas ternyata harus terbagi-bagi lagi sesuai dengan ketentuan Kontrak Profit Sharing (KPS), dimana sebesar 85 persen untuk pemerintah dan 15 untuk swasta. Dan sesungguhnya porsi swasta ini masih dapat diminimalisir jika Indonesia mampu mengelola minyaknya sendiri. Namun kenyataannya justru pihak asing hingga kini telah merajai pengelolaan migas di negeri ini sampai 92 persen dari produksi minyak Indonesia (www. Mediacare, 18/9/07).

Tegasnya, Pertamina bukan lagi pemain utama dalam industri migas Indonesia. Justru, Indonesia Chevron Pacific Indonesia yang tercatat sebagai perusahaan dengan produksi minyak paling dominan yang total produksi minyaknya hampir mendekati 44% dari total produksi minyak dari perut ibu pertiwi ini. Bahkan selama tiga tahun, perusahaan tersebut terus memantapkan posisi sebagai leader dalam produksi minyak. Dan PT Pertamina sebagai BUMN hanya menempati urutan kedua dengan produksi 136.12.000 ribu bph dengan pangsa produksi sebesar 11,53%. Bahkan dalam sepuluh daftar pemain terbesar (top ten) migas di Indonesia, hanya terdapat dua perusahaan nasional, yakni Medco dan Pertamina, sisanya adalah pemain asing seperti Chevron, Conoco Phillips, Total, ExxonMobil Oil Indonesia dan PetroChina (Seputar Indonesia, 31/10/07).

Singkat kata, kenaikan BBM kali ini masih kelanjutan dari lagu lama bahwa proses liberalisasi minyak di negri ini masih tetap berlangsung. Sehingga menilai Pertamina, kita harus mulai membedakan antara terminologi “menguasai ” dengan ”memiliki” pasokan minyak di negri ini. Dan kita juga masih ingat, paska isu pemanasan global mulai merebak di seluruh dunia, telah terjadi peralihan fungsi tanaman biji-bijian sebagai pangan masyarakat dunia berubah menjadi sumber energi alternatif guna memastikan roda industri kapitalime Negara-negara maju tetap terus berjalan. Dan pada hari ini, krisis global kekurangan pangan dapat dipastikan juga telah menjadi imbas dari keserakahan sistem penjajahan gaya baru itu sendiri.

Tidak perlu ragu lagi, bawha rezim hari ini SBY-JK ternyata juga tidak ada ubahnya seperti rezim-rezim sebelumnya. Pada saat ini, semakin ditegaskan bahwasanya model ekonomi yang dianut pemerintahan SBY-JK sangat berorientasi pasar, tunduk pada determinan ekonomi asing dan meminggirkan jutaan massa rakyat. Akibatnya saat harga minyak dunia melonjak naik dan rupiah melemah karena spekulasi pasar, terlihatlah bobroknya pondasi ekonomi kita. Kampanye untuk mensejahterakan orang banyak dikalahkan oleh orientasi pencarian sumber-sumber pembiayaan negara yang sangat instan—jalan pintas dengan mengandalkan bantuan luar negeri tanpa ada orientasi strategis ketahanan nasional sama sekali. Sebagai akibatnya, paska pengesahan UU Penanaman Modal Asing No.25/2007, langsung disusul dengan rencana kenaikan harga BBM, pencabutan subsidi, privatisasi 37 aset-aset strategis BUMN, bahkan krisis pangan dan ekonomi global malah ikut melambungkan harga-harga sembako dalam negri semakin membumbung tinggi.

0 komentar: