Kamis, 12 Juni 2008

Pertanggung jawaban perusahaan multinasional

Globalisasi pada dasarnya merupakan salah satu fase perjalanan panjang perkembangan kapitalisme liberal, yang secara teoritis sebenarnya telah dikembangkan oleh Adam Smith. Meskipun globalisasi telah dikampanyekan sebagai era masa depan yakni suatu era yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global dan akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua, namun globalisasi sesungguhnya kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme.

Mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi seperti Perusahaan Transnasional yakni perusahaan multinasional yang besar, Bank Dunia, IMF melalui kesepakatan yang dibuat dalam WTO sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo liberalisme. Paham neo liberalisme secara prinsipil tidak berbeda dengan paham liberalisme yang lama, hanya saja karena waktu, konteks kemunculannya kembali serta skala dan strateginya yang berbeda sudah tentu jawabannya berlainan. Inti neo liberalisme adalah dilepaskannya hak istimewa atas modal dari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional.

Menurut B. Herry Priyono, yang banyak mengupas persoalan neo liberalisme, menulis :

”Neoliberalisme dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neoliberalisme adalah paham atau agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politikon, homo socialis,dsb). Kedua, sebagai kelanjutan pokok pertama, neoliberalisme kemudian juga bisa dipahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riil dalam tata ekonomi politik.”1

Berbicara mengenai globalisasi sesungguhnya berbicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal yang didalamnya terdapat tiga hal yaitu pertama, tata kekuasaan global bertumpu pada pratik bisnis perusahaan raksasa lintas negara; kedua, pelaku utamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasional dan ketiga, konsumerisme. Dalam praktik perdagangan-bisnis transnasional didorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan internasional yang kerap disebut sebagai aturan baru seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), GATS (General Agreement on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Right), TRIMs (Trade Related Investment Measure), AoA (Agreement on Agriculture) dalam kerangka pasar bebas.

Buku Global Inc., memetakan perusahaan multinasional diseluruh dunia dalam tiga kelompok besar yaitu korporasi dibidang industri, korporasi dibidang teknologi informasi, korporasi dibidang jasa. Nampak bahwa perusahaan multinasional tersebut telah menguasai seluruh bidang kehidupan manusia dari kebutuhan rumah tangga hingga kebutuhan kantor. Disamping manfaat yang ditimbulkan oleh perusahaan multinasional tersebut, masih lebih banyak lagi dampak negatif dari hadirnya perushaan multinasional. Sekurang-kurangnya ada tujuh wilayah yang terkena dampak perusahaan multinasional yaitu Gaji dan pekerjaan, Pajak, Teknologi, Modal, Kebudayaan, Lingkungan hidup dan Standardisasi. Namun berbagai dampak tersebut tidak mempengaruhi operasi perusahaan multinasional dalam mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya. Ada dua strategi yang digunakan oleh perusahaan multinasional. Pertama, perusahaan multinasional tersebut menggunakan strategi yang dipakai oleh layaknya suatu kekuatan politik yaitu ancaman (threat). Jika syarat yang diminta oleh perusahaan multinasional tidak dipenuhi maka perusahaan multinasional tersebut dapat mengancam akan keluar dari negara atau wilayah tertentu. Strategi kedua adalah dengan cara korupsi. Sudah menajdi rahasia umum bahwa perusahaan multinasional mengirimkan suap kepada pejabat-pejabat pemerintahan agar yang bersangkutan mau meloloskan permintaan dan tuntutan perusahaan multinasional tersebut2. Hal ini yang sering disebut dengan korupsi global.

Kalau semua strategi itu belum dianggap cukup maka banyak perusahaan multinasional yang melakukan penetrasi pada organisasi internasional seperti World Bank, IMF dan WTO. Kebijakan-kebijakan tiga organisasi ekonomi dunia paling berpengaruh tersebut pada akhirnya mengabdi kepada kepentingan perusahaan multinasional, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekuasaan perusahaan multinasional bukan hanya dibidang finansial saja tetapi juga dalam bidang politik. John Pilger menamakan penguasa-penguasa baru bagi perusahaan multinasional karena perusahaan-perusahaan multinasional tersebut tumbuh menjadi kekuatan sendiri di dunia.

Sebagai negara yang telah merasakan segala bentuk keterpurukan akibat hempasan-hempasan gelombang globalisasi. Indonesia bisa menjadi laboratorium kegagalan bagi usaha memakmurkan bangsa apabila globalisasi dengan ideologi neoliberalismenya dibiarkan merajalela oleh kaum intelektual dan praktisi ekonomi politik.

Naiknya Suharto menjadi presiden kedua RI menggantikan Sukarno di tahun 1966 diiringi dengan dikeluarkannya UU No 1 Tahun 1967 yaitu UU Penanaman Modal Asing membuat terbukanya ruang investasi di Indonesia bagi investor-investor asing. Pemerintahan Soeharto menghapus semua hambatan bagi modal internasional untuk menguasai sumber daya alam dan tenaga manusia di Indonesia. Awal tahun 1971 sebuah kesepakatan dibuat untuk membagi-bagi mineral Indonesia kepada perusahaan asing seperti Caltex, Frontier, IIAPCO-Sinclair dan Gulf-Western. Empat tahun sebelumnya, Soeharto terlebih dahulu menyerahkan 1,2 juta hektar tanah di Papua kepada Freeport McMoran dan Rio Tinto. Aturan fiskal disesuaikan sedemikian rupa sehingga memungkinkan perusahaan-perusahaan ini mengalirkan pendapatannya langsung ke pusat-pusat kemakmuran di Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.

Dominasi perusahaan multinasional disektor pertanian terlihat dengan dikuasainya produksi dan pasar sarana produksi pertanian (benih dan agrokimia), menguasai pasar produk pertanian dan menguasai produksi serta pasar bahan pangan olahan hingga tingkat pengecer. Integrasi ini semakin nyata dibidang rekayasa genetic tanaman pertanian. Monsanto, Syngenta dan Dupont merupakan tiga perusahaan bioteknologi benih teratas, dimana Monsanto menguasai 91 persen dari benih transgenic. Di Indonesia, Monsanto lewat anak perusahaan PT Monagro Kimia menyuap 140 pejabat tinggi Indonesia untuk meloloskan produknya. Mosanto memiliki paten atas semua hasil transgeniknya. Penguasaan paten atas bahan tanaman berdampak mengubah benih dari milik public menjadi milik privat. Hal ini mengakibatkan dua dampak yaitu petani kehilangan hak untuk menyimpan, menanam kembali, saling menukar dan memuliakan benih (suatu hal inheren yang ada sejak berabad-abad lalu dikalangan masyarakat petani). Kedua harga benih menjadi mahal karena pemakai harus membayar biaya teknologi dan royalty. Selain itu, benih pabrik dirancang untuk digunakan dalam satu paket dengan pupuk atau pestisida produk perusahaan yang sama3.

Bidang ketenagakerjaan merupakan bukti bahwasanya kekuasaan perusahaan multinasional tidak hanya dibidang financial saja tetapi juga dibidang politik. Revisi UU ketenagakerjaan dan kebijakan tentang upah merupakan upaya untuk memudahkan perusahaan multinasional tersebut untuk memecat para pekerja dan mengebiri serikat buruh.

Perusahaan multinasional lain yang sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia adalah perusahaan minyak dan gas terbesar didunia, ExxonMobil. Perusahaan hasil merger Exxon dengan Mobil pada tahun 1999 sudah beroperasi lebih dari 100 tahun di Inonesia. Raksasa tambang ini merupakan produsen gas alam terbesar kedua di Indonesia, setelah Total Indonesie. Exxon mulai menambang gas di ladang Arun, Aceh dan sekitarnya pada tahun 1978.

Eksplorasi yang dilakukan ExxonMobil di daerah Arun, Aceh dan sekitarnya hingga tahun 2002 sudah menguras 70 persen cadangan gas. Ditahun 2006, ExxonMobil memperluas daerah tambangnya hingga Blok Cepu. Pro kontra mengenai jatuhnya Blok Cepu ke tangan Exxon Mobil sempat mencuat. Bagi Ariadi Subandrio4, titik balik persoalan Blok Cepu bermula dari munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 34/2005 yang mengamandemen PP No 35/2004 tentang kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sebelum PP No 35/2005 diamandemen, kontrak yang berlaku di Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil adalah kontrak bantuan teknis (Technical Assistance Contract/TAC). Artinya, didalam kontrak yang berakhir tahun 2010 itu, ExxonMobil hanya membantu Pertamina. Menurut Ariadi Subandrio, kontrak ini seharusnya tetap berlaku meski UU Minyak dan Gas No 22 /2001 tidak mengenal kontrak bantuan teknis. Pada kenyataannya, berbekal PP No 34/2005, pemerintah mengambil alih wilayah kerja Cepu dari Pertamina. Tanggal 17 September 2005, pemerintah yang diwakili oleh BP Migas menandatangani kontrak kerjasama Blok Cepu dengan Pertamina dan ExxonMobil dan masa kontrak diperpanjang hingga 20305.

Tidak hanya ExxonMobil yang ingin menambah penderitaan rakyat Indonesia dengan merampas seluruh kekayaan sumber daya alam Indonesia tetapi masih banyak lagi perusahaan multinasional yang menancapkan kakinya lebih kuat lagi di Indonesia dengan berbagai konflik yang ditimbulkan, seperti PT Freepot, PT Newmont dan lain sebagainya. Jatuhnya Blok Cepu ke ExxonMobil atatupun perpanjangan kontrak Freeport yang tidak memberikan perubahan kemajuan untuk masyarakat yang berada disekitar Freeport ataupun kurang tegasnya pemerintah terhadap kasus pencemaran Teluk Buyat yang dilakukan oleh Newmont mempertegas tunduknya pemerintahan Indonesia pada tekanan-tekanan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

Negara yang merupakan hasil kontrak politik antar warga negara, lewat proses-proses politik yang disepakati bersama adalah institusi administratif yang bertanggungjawab mengurus rakyatnya. Negara harusnya menjadi suatu mekanisme untuk meredistribusikan kekayaan, hak dan fasilitas. Tanggung jawab negara dalam mengurus dan melayani warganya diperkuat beberapa kesepakatan internasional yang tersurat dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia Universal dengan seluruh instrumen turunannya. Sehingga segala keinginan apapun yang bertujuan untuk menghapus tanggung jawab negara dalam menjamin realisasi hak asasi warganya, pada dasarnya bertentangan dengan semangat Hak Asasi Manusia Universal.

Upaya penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia bukan hanya tanggung jawab dan kewajiban Negara tetapi juga merupakan tanggung jawab serta kewajiban aktor non state seperti perusahaan multinasional dan perusahaan bisnis lainnya karena semenjak modal diinternasionalisasikan lewat praktek kolonialisme maupun lewat perusahaan multinasional, rakyat di Indonesia mengalami penderitaan yang luar biasa.

Dalam Pasal 1, pada dua Kovenan Hak Asasi Manusia utama, yakni Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR). Rumusan hak menentukan nasib sendiri pada kedua kovenan ini sama. Dimensi politik hak menentukan nasib sendiri terbaca pada Pasal 1 (1) menyatakan bahwa

”semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, social dan budaya mereka.”

Pasal 1 (2) menegasan dimensi ekonomi hak menentukan nasib sendiri. Pasal tersebut menyebutkan bahwa

”semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional.”

Resolusi MU PBB tahun 1965 Nomor 2131 (XX) tentang Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty mengutuk berbagai jenis campur tangan yang merusak nilai-nilai kememerdekaan suatu negara dibidang ekonomi. Resolusi MU PBB Nomor 2625 (XXV) tahun 1970 mengenai Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations, prinsip hak menentukan nasib sendiri ditingkatkan menjadi salah satu dari enam kaidah fundamental yang mengatur hubungan persahabatan antarnegara. Resolusi ini menegaskan bahwa setiap negara mempunyai hak untuk bebas memilih sistem ekonomi maupun politiknya sendiri tanpa campur tangan negara asing.

Kecenderungan untuk merubah tatanan ekonomi kembali diperkuat oleh MU PBB pada tahun 1974 dengan mengeluarkan 3 (tiga) dokumen penting, yaitu :

· Resolusi Nomor 3201 (S-VI) tentang Declaration on the Establishment of the New International Economic Order yang menyebutkan bahwa tata ekonomi baru tersebut harus dilandasi prinsip hak menentukan nasib sendiri.

· Resolusi 3202 (S-VI) tentang Programme of Action on the Establishment of a New International Economic Order menjabarkan dokumen pertama yang mencakup spectrum yang lebih luas dan meliputi sektor yang beraneka ragam dalam kerja sama ekonomi internasional.

· Resolusi Nomor 3281 tentang Charter of Economic Rights and Duties of State yang menyebutkan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan dan hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memilih sistem ekonomi, politik, social, dan kebudayaan sendiri sesuai dengan kehendak rakyat tanpa campur tangan dari luar.

Berbagai ketentuan tersebut yang memberikan jaminan hak ekonomi, social dan budaya bagi rakyat disuatu Negara mempertegas bahwasanya ada suatu konsekuensi yang harus di lakukan apabila terjadi pelanggaran ataupun kejahatan yang dilakukan oleh Negara lain ataupun oleh perusahaan multinasional.

0 komentar: