Sabtu, 04 Oktober 2008

Tradisi Mudik Lebaran:Kemiskinan,Pengorbanan dan Lipstik Politik

Oleh IksanHb

Pengorbanan dan kemenangan kaum muslimin khususnya kaum miskin, yang telah melewati satu rutinitas menjalankan ibadah merupakan kemenagan. Suka dan duka kemudian mengiringi kemenangan kaum miskin, tidak terkecuali telah berdampak bagi orang lain yang tidak menjalankan ibadah puasa. Sekalipun dengan penuh rasa was-was dan harapan menjadi tidak focus, focus untuk pribadi dan orang lain, hanya kata yang selalu diucapkan dalam hati ”kita harus berlebaran mudik (pulang kampung) dan bertemu
keluarga.” Rasa dag-dig-dug dan keringat tidak menghentikan semangat untuk bertemu keluarga dan kampung halaman.

Maraknya sponsor mudik hari raya Idul Fitri dari berbagai partai politik maupun perusahaan, menjadi ngetren dan mempunyai daya tarik tersendiri untuk mengikat hati rakyat. Keinginan besar para pemudik untuk mengurangi ongkos pulang kampung, biasanya tidak hanya ikut rombongan mudik yang disponsori oleh partai politik maupun perusahaan akan tetapi biasanya mereka mudik dengan menggunakan sepeda motor, dengan harapan bisa mengurangi ongkos dan bisa digunakan di kampung untuk silaturahmi dengan tetangga yang tidak bisa dijangkau dengan jalan kaki. Ada juga cara untuk mengurangi ongkos, dengan rela naik kereta api berdesakan, meskipun sangat berisiko dengan
kesehatan dan banyaknya copet yang berkeliaran.

Secara lahiriah tradisi sungkem pada orangtua dan silaturahmi dengan tetangga, menyambung kembali atas kasih cintanya. Lebih dari itu, usaha untuk menyatukan kembali (cinta-kasih) yang hilang dan mengurangi beban dosa dari kedekatan sang ibu dan bapak yang jauh dari pekerjaannya. Perasaan dosa dan harapan mendapat ampunan bukan hanya dari ALLAH semata, tapi juga dosa terhadap orang tua seakan menjadi pengampunan yang nyata, baik secara batin maupun lahiriah dengan tradisi sungkem orangtua dengan harapan mendapat pengampunan (mohon maaf lahir dan batin).
Kaya-miskin dan pengorbanan jiwa


Pemberian beras maupun uang yang biasa kita sebut beras firah dan sedekah terhadap yang tidak mampu, menjadi tidak senang hati ketika harus dilakukan dengan cara pembagiannya beras fitrah yang mereka terima setelah berjam-jam antre berjemur matahari hanya cukup untuk memenuhi perut beberapa hari. Kejadian yang sangat sedih dan masih ada dalam ingatan kita adalah kasus yang terjadi di Pasuruan dimana telah menelan 21 korban jiwa.

Apa yang terjadi pada 150 WNI yang hendak pulang kampung ke Sumatera untuk merayakan Idul Fitri, telah tenggelam sehingga menewaskan 12 orang, terdiri atas 11 wanita dan satu lelaki, 125 orang selamat. Sebanyak 125 orang yang selamat, 18 orang harus dirawat di Hospital Tengku Ampuan Rahimah, di antaranya tiga wanita hamil dan tiga anak dibawah lima tahun, (Kompas SELASA, 30 SEPTEMBER 2008). Dari 150 WNI yang tenggelam sehingga menewaskan 12 orang ,yang hendak pulang kampung ke Sumatera untuk merayakan Idul Fitri, adalah sangat memprihatinkan dan merupakan tragedy kemanusiaan yang sangat menyakitkan. Potret wajah bangsa kita sangat di permalukan oleh Malaysia, apa lagi diduga pekerja illegal, korban dimana mereka harus bertemu sanak keluarga harus menderita. Bukan persoalan mereka legal atau illegal akan tetapi itu merupakan perjuangan untuk mencari sesuap nasi dan mendapatkan hidup yang layak. Kalau pemerintah mempunyai perasaan yang lebih dalam masalah kemiskinan seharusnya pemerintah mampu menghentikan kemiskinan dan pembodohan , dengan meningkatkan keamanan dan menciptakan lapangan kerja. Kalau pemerintah tidak bisa member jaminan keamanan rakyat dan stabilitas ekonomi, jangan berharap ekonomi kita akan berkembang dengan cepat.

Setiap orang sebenarnya mempunyai fitrah, Fitrah secara cultural bisa kita lihat lebaran fitrah yang mengandung makna kritik atas ketidak seimbangan antara kerakusan dan kemiskinan, bisa juga kita sebut ketimpangan modernitas sistem pasar yang kapitalistik. Kerinduan dan kecintaan manusia sebagai mahluk sosial, tradisi mudik mencerminkan kerinduan spiritual manusia antara nalar pribadi dan nalar sosial ada dalam satu ikatan lahiriah (Kesalehan individu) yang terlepas dari kepentingan politik, etnisitas, kebangsaan, dan territoriality nasionalisme intelektualitas, bahkan kesalehan keagamaan. Pertanyaannya kemudian apakah dengan maraknya seponsor politik terhadap pemudik, akan mengurangi keistimewaan makna fitrah lahir-batin?
Untung rugi kadang kala dipakai dalam melakukan bisnis, tetapi juga untung rugi dalam memberikan sponsor medik ,tentu menjadi kalkulasi internal yang terkait denagan pendapatan, apa itu pendapat angka konsumen bertambah, atau pendapatan suara dalam pemilu. Sebenarnya beban dan resiko kematian dalam setiap hari raya idul fitri bukan hanya terjadi pada yang menjalankan idul fitri akan tetapi juga bisa terjadi kepada siapa saja, agama apa saja karena infrasruktur transfortasi kita masih buruk, sehingga banyak mengalami kecelakaan. Kemenangan secara teologis, pada hari raya Fitrah kemenangan bagi orang yang menjalankan ibadah puasa, khususnya kemenangan kaum tertindas (proletar), akan tetapi secara harfiah dan lahiriayah, problem sosial ekonomi dibawah garis kemiskinan, apa itu karena kemiskinan struktural atau karena tragedi takdir kemiskinan ilhahi (wallahualam).

Di hari besar keagamaan yang seperti hari raya idul fitri, bagi kaum muslimin merupakan hari yang penuh barakah, bagaikan hari tanpa pembatas dengan Tuhan ( tunduk, syukur dan berserah diri secara total). Meskipun orang yang mampu dan berkuasa di hari itu menundukkan diri kepada Tuhan, bahkan ada yang secara sepotong dan melembaga dalam dirinya menjadi seorang sufi, lantaran karena mendengar dan belajar cara mendekatkan diri dengan Tuhan, sehingga lupa berinteraksi masyarakat miskin. Potret ini seakan menjadi kenyataan, sebagaimana yang ditulis dalam majalah Tempo “ Hanya, kita kerap menyaksikan orang berbondong-bondong belajar tasawuf lebih untuk meningkatkan spiritualisme pribadi, bukan spiritualisme kolektif. Sufisme cuma punya efek terhadap diri sendiri, belum pada lingkungan di luar dirinya. Mereka lebih sibuk mengurusi Tuhan, yang sebetulnya tak meminta diurus, ketimbang mengurusi kemaslahatan bersama. Mereka ini sesungguhnya telah melupakan esensi tasawuf yang jauh lebih penting: khidmat, pelayanan terhadap manusia lain. Inilah dakwah bil hal yang sesungguhnya. Kita jelas memerlukan sufisme, tapi bukan ”jenis” yang melahirkan masyarakat yang eskapis. Lahirnya sufi urban tak akan sia-sia jika dari sana muncul banyak gagasan dan kontribusi untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. (Majalah TEMPO 32/XXXVII 29 September 2008)

Mrajut kekuatan moral sebagai simbol solidaritas
Harapan penuh barakah dan magfirah tentu tidak terlepas dengan interaksi structural dan budaya modernitas – urban bersinggungan dengan kemiskinan. Record sosial sebagai bawaan modernitas adalah jalan spiritual orang kaya dan berkuasa untuk mendapat ampunan Tuhan dengan memnyisihkan harta kekayaanya membayar fitrah. Sebagaimana bagi-bagi 2,5 kg beras fitrah setara Rp 10.000. meskipun jumlah itu sama sekali tak bernilai bagi orang yang berpendapatan puluhan sampai ratusan juta rupiah setiap bulan.
Benarkah kata orang bahwa zakat fitrah bukan sekadar ritual yang harus dilakukan, dengan keterpaksaan karena sebagai kewajiban? Hikmah dari zakat fitrah yang bukan sekedar ritual tetapi simbol solidaritas kolektif komunitas sosial, baik dari tingkat keluarga sampai kebangsaan. Kejujuran yang menjadi dasar ukuran standart pembayaran zakat menjadi pertanyaan bagi msyarakat miskin. Itu bisa kita lihat dari orang yang kaya di Indonesia tidak menjadi terbuka dengan golongan kaum miskin lantaran ketakutannya mereka harus membayar zakat dengan nilai yang tinggi. Kalau keterbukaan antara yang miskin menjadi nyata dalam kehidupan sosial dan kebangsaan, tentu nasionalisme dan solidaritas kolektif akan menjadi kenyataan.

Setiap tahun datangnya bulan suci ramadhan, seluruh kaum muslimin menyambutnya penuh antusias. Lebaran memotivasi warga negara seperti di Indonesia, dimana harus bekerja keras dan bahkan harus rela tidak bertemu keluarga siang dan malam,dan ada juga yang mengurangi jam kerjanya hanya atas dasar hari penuh kemulyaan. Puncak dari bulan ramadhan mereka bersama-sama berlebaran atau mudik bertemu sanak keluarga dengan penuh suka dan duka. Setelah lebaran usai, kehidupan kembali seperti sebelumnya. Kekerasan sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan kembali terjadi. Mengapa begitu mudah manusia lupa akan nilai-nilai silaturahminya,lupa akan fitrah jati-diri dan keberadaannya sebagaimanusia (human being).

Fitrah dan solidaritas yang hilang

Setelah kembali keposisi semula pasca-hari raya idul fitri (Lebaran) orang kembali menjalani kehidupan penuh ketidak seimbangan, ketidak seimbangan iman dan ketidak seimbangan tanggung jawab sebagai warga negara. Sikut menyikut diantara sesama mencari dalih pendapat politik, menggangu diantara sesama anak bangsa kadang-kadang berbungkus sakralitas ketuhanan. Daur ulang kantong-kantong politik menjadi tontonan, yang teman yang tidak menguntungkan secara politik harus di usir mencari teman baru yang menguntungkan dan masih banyak lagi contoh daur ulang politik eskapisme (pelarian). Kehidupan sosial yang dipengaruhi oleh tradisi kekuasaan menjadi relefan disetiap level, mulai dari tingkat Iastana sampai tingkat RT. Kalau kita bisa memaknai dan melakukan tradisi silaturahmi dan bermaaf mafan diantara sesama, saling hormat menghormati diantara anak bangsa, saya oktimis dan pasti bangsa kita akan menjadi bangsa yang terhormat dan makmur sentosa.

Bersatu kita utuh bercerai kita runtuh, semboyan yang seakan kita lupa bahwa makna lebaran idul fitri merupakan wujud kebangkitan nasional, bangkitnya jiwa damai dan fitrah kebangsaa. Silaturahmi bukan hanya untuk kaum muslimin saja akan tetapi bagi semua ummat manusia dimuka bumi. Saatnya menyadari, kehidupan bukan sekadar mekanisme material peribadi dan kekuasaan , tetapi sebuah keterpaduan dan saling terkait dengan dinamika sosial yang dinamis, spiritual tekstual-konstektual, rasionalitas, dan keseimbangan struktur keadilan sosial (social justice).

Kesombongan dipundak seseorang tidak akan mengalahkan solidaritas dan kekuatan moral manusia, sehebat apa pun kekuatan atas kuasaan seseorang dan kekayaan harta benda seseorang, pasti akan butuh pengakuan public. Bisakah kita memulai dari sekarang kebiasaan yang menjebak dirikita, bangsa kita dirubah menjadi nilai-nilai moralitas dan solidaritas untuk bangsa Indonesia (bangsa terhormat dan bangsa yang malmur sentosa)? Bangsa yang kuat adalah bangsa yang dilandasi atas nila-nilai pancasila dan didasar saling hormat menghormati sesama anak bangsa.

Hentikan Tradisi lipstick politik

Pembenaran untuk bersolek kekuasaan dan politik pasar bebas (jual beli suara bukan hanya saat pemilu tiba tapi juaga pembagian sembako,seponsor mudik) menjadi semakin terperangkap kemiskinan. Korban jiwa dijalanan menjadi tontonan atas semerawutnya lalulintas, bukan hanya salah Pak polisi akan tetapi kualitas proyek infrastruktur kita yang dikorup, sehingga umur bangunan proyek jalan mudah hancur. Meskipun demikian tradisi mudik yang tidak menyurutkan niatnya untuk pulang kampung meskipun harus menghadapi resiko besar, bukan menjadi alasan pemerintah menghentikan arus balik dengan operasi KTP, Karena kemiskinan ditanah air masih sangat besar debandingkan yang kaya dan lapangan pekerjaan di daerah tidak ada. Hilangnya pekerjaan dan pengangguran harus menjadi batu cambuk PRESIDEN dan POLITISI untuk bekerja lebih keras dan bertanggung jawab.

Himpitan hidup yang kian hebat akibat kenaikan harga BBM, dan ketidak pastian kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM menjadi terror keamanan rakyat, kita bisa lihat kenapa saya mengatakan ketidak pastian kebijakan pemerintah adalah ketika pemerintah menaikkan harga BBM pemerintah beralasan karena naiknya harga minyak dunia, sekarang ketika harga minnyak dunia turun kenapa pemerintah tidak menurunkan harga BBM? Padahal hampir diseluruh dunia harga BBM turunsetelah harga minnyak dunia sudah turun. Contoh kongkrit yang terjadi di Malysia harga BBM turun, di Amerika turun dari 4,10 dolar menjadi 3,57 dolar per gallon kalau dirupiahkan turun sekitar 5 ribu rupia.

Masih adanya terror yang terjadi pada saksi dalam persidangan Habib Rizik dan bentuk kekerasan lainnya menunjukkan betapa tidak pastinya keamanan kita sebagaimana perlindungan terhadap rakyatnya. Teror bom, masih besarnya hasrat korupsi, kurang pedulian pemimpin politik dan keagamaan atas derita rakyat, serta kekerasan akibat konflik sama menjadi hantu yang harus ditrobos oleh rakyat, sebagaimana rakyat miskin melakukan tradisi mudik kekampung halamannya dengan rela menjual harta bendanya, berdesakan dan lain-lain, yang terpaksa dilakukan.

Bukan persoalan referensi teologi semata yang kita lihat, akan tetapi ketersediaan ekonomi untuk menopang hidup yang harus dilihat, pikirkan dan dilakukan dengan baik dan bertanggung jawab. Kesempatan pemerintah untuk merubah cara pendektan lipstick politik ke realistic dan bertanggung jawab masih terbuka. Sekalipun keraguan dan apatisme rakyat sudah berkembang, untuk tidak mengurangi ketenaran dan jabatan yang di emban, elite politik dan keagamaan negeri ini harus mampu mengorbankan gengsi dan rasa benar sendiri untuk rakyat.

TAQABBALLAHU MINNA WA MINKUM TAQABBAL YA KARIM WA JA'ALANA WA IYYAKUM MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN KULLU AMMI WA ANTUM BIKHOIR

0 komentar: