Kompas Selasa, 4 Maret 2008 | 02:23 WIB
Oleh : Dody Damayanty
Setelah tarik ulur sebulan pemerintah ”mengungguli” PT Newmont Nusa Tenggara dengan lebih dulu mengajukan gugatan penyelesaian divestasi melalui jalur arbitrase, Senin (3/3). Untuk pertama kalinya dalam sejarah pengelolaan pertambangan
Ketegangan antara pemerintah dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) memuncak dengan keluarnya
NNT mengoperasikan pertambangan emas dan tembaga Batu Hijau di Kabupaten
Kisruh divestasi ini mengulangi kekacauan divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) enam tahun lalu. Dalam kasus NNT ataupun KPC, pemerintah pusat tidak berminat membeli saham yang didivestasikan.
Sesuai dengan pasal 24 ayat 2 kontrak karya, jika pemerintah tidak menerima penawaran saham, kesempatan berikutnya jatuh pada warga negara Indonesia atau perusahaan Indonesia yang dikendalikan warga negara Indonesia. Namun, dengan berlakunya otonomi daerah, tidak hanya pemerintah pusat yang berhak membeli saham asing perusahaan tambang, pemerintah daerah (pemda) pun memiliki kesempatan yang sama.
Dalam kasus KPC, divestasi saham seharusnya dilakukan dari tahun 1998, tertunda-tunda sampai terlewatinya batas akhir penyelesaian tahun 2002.
Pemerintah pusat tidak berminat membeli dan pemda mendapat tawaran pendanaan dari beberapa perusahaan. Namun, konsorsium pihak ketiga yang mendanai pemda dipermasalahkan oleh pemerintah pusat.
Di tengah-tengah proses itu, pemilik saham KPC, Rio Tinto dan BP, menjual seluruh sahamnya kepada Bumi Resources.
Bumi membeli saham KPC dengan harga murah, sama dengan tawaran ke pemda. Pemda menggugat KPC dan Rio Tinto ke arbitrase. Sudah dua kali sidang digelar di Washington dan Singapura.

Kasus KPC membuat khawatir NNT. Sebab, Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa berencana membentuk badan usaha milik daerah, yang menggandeng mitra swasta untuk membiayai pembelian saham tersebut.
Perusahaan yang kerap disebut akan membantu pemda adalag Bumi Resources. Dokumen nota kesepahaman ketiga pemda dengan perusahaan tambang yang sebagian sahamnya dimiliki Kelompok Bakrie itu beredar minggu lalu.
Berkaca pada kasus KPC, NNT khawatir jika akhirnya divestasi 31 persen saham dikuasai Bumi, apalagi 20 persen saham sudah dipegang PT Pukuafu, posisi mereka bakal melemah.
PT NNT pun mulai mencari alasan, yaitu dengan menginterpretasikan atas bunyi kontrak karya. Dengan menggandeng perusahaan swasta nasional, menurut NNT, permintaan pemda sulit dianggap sebagai permintaan pemerintah kepada NNT.
Oleh karena itu, proses divestasi seharusnya masuk wilayah penyelesaian bisnis. Perhitungan nilai saham yang didivestasikan tidak bisa disamakan dengan harga jual ke pemerintah.
NNT tidak keberatan jika pihak ketiga yang masuk adalah PT Trakindo, kontraktor yang selama puluhan tahun menjadi mitra operasi di Batu Hijau.
NNT meneruskan pembicaraan dengan syarat pemda menerima penawaran mereka untuk menalangi pembelian saham. Kewajiban cicilan dipotong dari dividen. NNT akan memberikan dana sosial 333.333 dollar AS per tahun untuk setiap 1 persen saham milik pemda.
Pemkab Sumbawa menerima tawaran itu dan membeli 2 persen saham NNT pada 28 Januari. Pemprov NTB dan Pemkab Sumbawa Barat bergeming.
Kisruh divestasi ini menciptakan ketidakpastian investasi. Ketua Indonesia Mining Association Arif Siregar menyarankan divestasi dilakukan melalui penawaran publik di bursa untuk memperkecil masalah.
”Divestasi lewat market memang bisa melenceng karena yang main di bursa bisa orang asing. Namun, saya kira lebih baik dikembalikan ke esensi awalnya, divestasi
Direktur Eksekutif Indonesia Coal Society Singgih Widagdo mengatakan, pemerintah harus mempertegas definisi siapa yang bisa mewakili kepentingan nasional. Pemerintah sebagai regulator lebih baik berkonsentrasi pada upaya pengawasan kinerja perusahaan tambang.
VP Investor Relation Bumi Resources Dileep Srivastava mengatakan, nota kesepahaman dengan tiga pemerintah daerah di NTB itu tidak mengikat. ”Dulu Bumi melihat itu kesempatan bisnis agar perusahaan semakin berkembang dan memberi tambahan keuntungan bagi pemegang saham. Sekarang tidak tertarik lagi karena posisi kami saat ini menjadi pemilik saham mayoritas di beberapa perusahaan tambang besar,” kata Dileep.
0 komentar:
Posting Komentar